KANAYA



Cerpen

Hari ini tepat dua tahun pernikahan Hilman dan Kanaya, tak ada perayaaan apalagi pesta mewah.  Sejak sore tadi Hilman hanya berbaring di tempat tidur, matanya tak lepas dari jam dinding yang menggantung tepat di tembok depan tempat tidurnya.

“Sudah selarut ini kenapa Kanaya belum juga pulang.” Begitu pikir Hilman dalam benaknya, hingga suara dering telepon genggam menyadarkannya.

“Mas aku baru keluar kantor malam ini aku pulang ke rumah ibu.” Sebuah pesan singkat dari Kanaya.


Kanaya memang terbiasa seperti itu, hari-harinya selalu disibukkan dengan urusan kantor hingga nyaris tak ada waktu berkualitas bagi mereka berdua. Ketika hari libur tiba Kanaya lebih memilih pergi ke rumah orang tuanya, dan menghabiskan waktu disana. Sedangkan Hilman tak pernah menemani Kanaya di rumah orang tuanya, hubungan Hilman dengan Orang tua Kanaya memang tidak harmonis, ketidaksetujuan orang tua Kanaya atas pernikahan mereka menjadi penyebabnya.

Terlihat gurat kekecewaan di wajah Hilman, padahal sudah sejak sore tadi Hilman menununggu istrinya pulang. Dan lagi-lagi Hilman tak mampu melawan keadaan, meskipun kerap kali hatinya berontak untuk memerintahkan istrinya agar segera pulang dan tak usah lagi menginap di rumah orang tuanya. Tapi arrgghhh... Hilman segera menyadari ini semua adalah kesalahannya, seandainya dulu dia tidak menjalin hubungan dengan Kanaya, seandainya dulu dia tidak menikahi Kanaya yang putri orang terpandang itu, seandainya.... seandainya....

Oouughhh... sudahlah tak ada guna lagi melontarkan penyesalan. Toh dulu Dia juga yang memilih Kanaya menjadi pendamping hidupnya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Bungkusan kecil yang sudah Hilman persiapkan sebagai kado pernikahannya dengan Kanaya kembali dia taruh di tas kerjanya.

“Ada apa Man, sepertinya kamu sedang ada masalah. Dengan istrimu lagi?” Rudiyan teman sekantor Hilman menepuk pundak Hilman dari belakang. Meja kerja Rudiyan dan Hilman berdampingan, sehingga dua lelaki dewasa ini terlihat begitu akrab, dan sering kali saling bertukar cerita tentang permasalahan rumah tangganya.

“Entahlah Rud, dia tak pernah mau berubah!”

“Lalu apa yang kamu mau?!” Rudiyan menatap serius.

“Aku tak pernah melarang dia bekerja, bersosialisasi dengan teman-temannya, juga berkumpul bersama orang tuanya. Aku hanya ingin dia sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Dia pergi sebelum matahari terbit, dan pulang ketika hari beranjak malam disaat orang lain sudah tertidur pulas. Setiap suami pasti menginginkan istrinya menyambut ketika pulang kerja, mungkin bisa sedikit menghilangkan rasa lelah. Bahkan disaat hari libur pun tetap tak ada waktu untukku, dia lebih memilih menghabiskan waktu bersama di rumah orang tuanya. ” Hilman bercerita dengan nada kesal.

“Hmmm, sudahlah bersabar saja. Lebih baik kalian bicarakan baik-baik!” Rudiyan mencoba menenangkan.

“sudah berkali-kali, Dan sikapnya selalu sama. Hari ini dia pergi ke rumah orang tuanya, dan mereka pergi bersenang-senang.”
 “Sedangkan aku,?”
“kamu tahu apa yang aku lakukan dirumah?” Hilman menarik nafas sejenak lalu melanjutkan pembicaraannya.
“Aku mengurusi pekerjaan rumah tangga, sambil sesekali mendengarkan gunjingan tetangga tentang keadaan rumah tangga kami.”

“Ya sudah sekarang tenangkan dulu pikiranmu dan fokus pada pekerjaanmu!” Lagi-lagi Rudiyan mencoba menenangkan sahabatnya itu.

*****

Hilman masih duduk mematung diteras rumahnya, pandangannya kosong, hanya sesekali melihat ke arah arloji yang dikenakannya. Sudah lewat dari jam delapan malam, namun istrinya belum juga pulang. “Hah, sepertinya hari ini juga akan seperti hari-hari kemarin. Sia-sia” Gumam Hilman dalam hati, lalu beranjak menuju tempat tidurnya.

Sementara itu, di sebuah restaurant ternama di Jakarta. Tampak duduk seorang wanita muda, dengan pakaian kerja masih melekat dibadannya, ditemani seorang pria sebaya dengannya yang juga masih berpakaian kerja, sesekali mereka bercanda mesra layaknya dua orang muda-mudi di mabuk asmara. Wanita itu, Kanaya istri dari Hilman sedangkan pria disampingnya adalah Bagus teman sekantor Kanaya. Entah sudah berapa lama mereka menjalin hubungan terlarang itu. Hilman bukannya tidak mengetahui tentang hal itu, dia sering mendengar selentingan kabar dari teman-teman sekantor Kanaya, bahkan Hilman pernah melihat sendiri sebuah percakapan pesan di smarthphone istrinya itu dengan seorang pria dengan nada mesra, yang membuat Hilman dilanda amarah dan juga jijik atas kelakuan istrinya itu. Namun, ketika dikonfirmasikan kepada Kanaya dia selalu membantah hal tersebut, dan menyebutkan jika itu bukan pesan yang dia buat, melainkan teman-temannya yang menjailinya. Tak ingin terus dilanda amarah Hilman hanya mempercayai alibi istrinya.

Waktu sudah menunjukan pukul 09.30 malam Kanaya masih asik mengobrol dengan bagus di restaurant itu.

“Sebentar ya, aku sms suamiku dulu!” Kanaya mengambil telephone genggam di tasnya lalu mengirim pesan kepada suaminya Hilman.

“Mas, hari ini aku pulang telat ada meeting di kantor, Mas Hilman makan duluan aja, aku sudah makan dikantor!” demikian bunyi pesan singkat Kanaya kepada Hilman.

*****

Diperjalanan pulang Kanaya mampir di sebuah warung Bakso langganan suaminya, Bakso disana memang makanan favorit suaminya. Dalam pikirnya, itu untuk membujuk suaminya agar dia tidak marah karena Kanaya pulang telat.

Di ujung gang tak jauh dari rumah Kanaya, tampak kerumunan orang, ramai sekali. Tak biasanya gang sepi ini begitu ramai orang, dan anehnya kerumunan itu justru semakin ramai ketika mendekati rumah Kanaya. Ternyata orang-orang itu memang berkumpul di rumah Kanaya, beribu tanya hinggap dikepala Tanaya kenapa ada begitu banyak orang dirumahnya. Apa yang terjadi dirumahnya. Kanaya mempercepat langkahnya dan masuk kedalam rumah, yang juga sudah dipenuhi orang, terlihat sanak saudara serta keluarga dari suaminya Hilman

“Nak, suamimu nak, suamimu!” Seorang wanita paruh baya dengan terisak memeluk Kanaya, dia ibu mertua Kanaya.

Kanaya semakin tak mengerti dengan yang disampaikan ibu mertuanya, lalu meneruskan langkah ke dalam kamarnya hingga ia dapati sesosok jasad yang telah dibungkus kain kafan, wajahnya ia hafal betul, itu adalah wajah Hilman, Pria yang menikahinya selama dua tahun ini.

“Yang tabah ya de, tadi sekitar pukul sembilan ibu menemukan Hilman sudah terbujur kaku. Dokter memperkirakan beliau terkena serangan jantung. Ibu menemukan ini didekap erat oleh Hilman!” Ujar seorang Wanita, usianya tak terpaut jauh dengan Kanaya, dia adalah kakak ipar Hilman. Lalu menyerahkan sebuah kotak sederhana bermotif hati.

Airmata Kanaya berderai sesaat kemudian dibuka perlahan kotak itu. Isinya bukan perhiasan mahal, atau benda-benda mewah lainnya, hanya sebuah buku berjudul "BAHAGIAKAN HATI SUAMI".

“Maafkan aku mas, maafkan aku..... Jangan pergi.....” bulir-bulir air mata semakin deras mengaliri pipi Kanaya. Dan yang tersisa hanya penyesalan.

3 comments:

  1. aaaaaaaaaaaaaaaaarrrggggghhhhhhhhhhhhhhh

    bikin nangis...
    emang sakit banget di hianati
    saking banget...

    maka aku benci dengan penghianatan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, pasti ngga ada yang mau dkhianatin mas!!

      Delete
  2. ending nya nge twist
    kita tak tahu kapan cinta itu ada..sampai ia tiada

    ReplyDelete