Hari ini tepat dua tahun pernikahan Hilman dan Kanaya, tak ada perayaaan apalagi pesta mewah. Sejak sore tadi Hilman hanya berbaring di tempat tidur, matanya tak lepas dari jam dinding yang menggantung tepat di tembok depan tempat tidurnya.
“Sudah selarut ini kenapa Kanaya belum juga pulang.” Begitu pikir
Hilman dalam benaknya, hingga suara dering telepon genggam menyadarkannya.
“Mas aku baru keluar kantor malam ini aku pulang ke rumah ibu.” Sebuah
pesan singkat dari Kanaya.
Kanaya memang terbiasa seperti itu, hari-harinya selalu disibukkan
dengan urusan kantor hingga nyaris tak ada waktu berkualitas bagi mereka
berdua. Ketika hari libur tiba Kanaya lebih memilih pergi ke rumah orang
tuanya, dan menghabiskan waktu disana. Sedangkan Hilman tak pernah menemani
Kanaya di rumah orang tuanya, hubungan Hilman dengan Orang tua Kanaya memang
tidak harmonis, ketidaksetujuan orang tua Kanaya atas pernikahan mereka menjadi
penyebabnya.
Terlihat gurat kekecewaan di wajah Hilman, padahal sudah sejak sore
tadi Hilman menununggu istrinya pulang. Dan lagi-lagi Hilman tak mampu melawan
keadaan, meskipun kerap kali hatinya berontak untuk memerintahkan istrinya agar
segera pulang dan tak usah lagi menginap di rumah orang tuanya. Tapi
arrgghhh... Hilman segera menyadari ini semua adalah kesalahannya, seandainya
dulu dia tidak menjalin hubungan dengan Kanaya, seandainya dulu dia tidak
menikahi Kanaya yang putri orang terpandang itu, seandainya.... seandainya....
Oouughhh... sudahlah tak ada guna lagi melontarkan penyesalan. Toh dulu
Dia juga yang memilih Kanaya menjadi pendamping hidupnya dengan segala
kekurangan dan kelebihan. Bungkusan kecil yang sudah Hilman persiapkan sebagai
kado pernikahannya dengan Kanaya kembali dia taruh di tas kerjanya.
“Ada apa Man, sepertinya kamu sedang ada masalah.
Dengan istrimu lagi?” Rudiyan teman sekantor Hilman menepuk pundak Hilman dari
belakang. Meja kerja Rudiyan dan Hilman berdampingan, sehingga dua lelaki
dewasa ini terlihat begitu akrab, dan sering kali saling bertukar cerita
tentang permasalahan rumah tangganya.
“Entahlah Rud, dia tak pernah mau berubah!”
“Lalu apa yang kamu mau?!” Rudiyan menatap serius.
“Aku tak pernah melarang dia bekerja, bersosialisasi
dengan teman-temannya, juga berkumpul bersama orang tuanya. Aku hanya ingin dia
sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Dia pergi sebelum matahari
terbit, dan pulang ketika hari beranjak malam disaat orang lain sudah tertidur
pulas. Setiap suami pasti menginginkan istrinya menyambut ketika pulang kerja,
mungkin bisa sedikit menghilangkan rasa lelah. Bahkan disaat hari libur pun
tetap tak ada waktu untukku, dia lebih memilih menghabiskan waktu bersama di
rumah orang tuanya. ” Hilman bercerita dengan nada kesal.
“Hmmm, sudahlah bersabar saja. Lebih baik kalian
bicarakan baik-baik!” Rudiyan mencoba menenangkan.
“sudah berkali-kali, Dan sikapnya selalu sama. Hari
ini dia pergi ke rumah orang tuanya, dan mereka pergi bersenang-senang.”
“Sedangkan aku,?”
“kamu tahu apa yang aku lakukan dirumah?” Hilman
menarik nafas sejenak lalu melanjutkan pembicaraannya.
“Aku mengurusi pekerjaan rumah tangga, sambil
sesekali mendengarkan gunjingan tetangga tentang keadaan rumah tangga kami.”
“Ya sudah sekarang tenangkan dulu pikiranmu dan fokus
pada pekerjaanmu!” Lagi-lagi Rudiyan mencoba menenangkan sahabatnya itu.
*****
Hilman masih duduk mematung diteras rumahnya,
pandangannya kosong, hanya sesekali melihat ke arah arloji yang dikenakannya.
Sudah lewat dari jam delapan malam, namun istrinya belum juga pulang. “Hah,
sepertinya hari ini juga akan seperti hari-hari kemarin. Sia-sia” Gumam Hilman
dalam hati, lalu beranjak menuju tempat tidurnya.
Sementara itu, di sebuah restaurant ternama di
Jakarta. Tampak duduk seorang wanita muda, dengan pakaian kerja masih melekat
dibadannya, ditemani seorang pria sebaya dengannya yang juga masih berpakaian
kerja, sesekali mereka bercanda mesra layaknya dua orang muda-mudi di mabuk
asmara. Wanita itu, Kanaya istri dari Hilman sedangkan pria disampingnya adalah
Bagus teman sekantor Kanaya. Entah sudah berapa lama mereka menjalin hubungan
terlarang itu. Hilman bukannya tidak mengetahui tentang hal itu, dia sering
mendengar selentingan kabar dari teman-teman sekantor Kanaya, bahkan Hilman
pernah melihat sendiri sebuah percakapan pesan di smarthphone istrinya itu dengan
seorang pria dengan nada mesra, yang membuat Hilman dilanda amarah dan juga
jijik atas kelakuan istrinya itu. Namun, ketika dikonfirmasikan kepada Kanaya
dia selalu membantah hal tersebut, dan menyebutkan jika itu bukan pesan yang
dia buat, melainkan teman-temannya yang menjailinya. Tak ingin terus dilanda
amarah Hilman hanya mempercayai alibi istrinya.
Waktu sudah menunjukan pukul 09.30 malam Kanaya masih
asik mengobrol dengan bagus di restaurant itu.
“Sebentar ya, aku sms suamiku dulu!” Kanaya mengambil
telephone genggam di tasnya lalu mengirim pesan kepada suaminya Hilman.
“Mas, hari ini aku pulang telat ada meeting di kantor,
Mas Hilman makan duluan aja, aku sudah makan dikantor!” demikian bunyi pesan
singkat Kanaya kepada Hilman.
*****
Diperjalanan pulang Kanaya mampir di sebuah warung
Bakso langganan suaminya, Bakso disana memang makanan favorit suaminya. Dalam
pikirnya, itu untuk membujuk suaminya agar dia tidak marah karena Kanaya pulang
telat.
Di ujung gang tak jauh dari rumah Kanaya, tampak
kerumunan orang, ramai sekali. Tak biasanya gang sepi ini begitu ramai orang,
dan anehnya kerumunan itu justru semakin ramai ketika mendekati rumah Kanaya.
Ternyata orang-orang itu memang berkumpul di rumah Kanaya, beribu tanya hinggap
dikepala Tanaya kenapa ada begitu banyak orang dirumahnya. Apa yang terjadi
dirumahnya. Kanaya mempercepat langkahnya dan masuk kedalam rumah, yang juga
sudah dipenuhi orang, terlihat sanak saudara serta keluarga dari suaminya
Hilman
“Nak, suamimu nak, suamimu!” Seorang wanita paruh
baya dengan terisak memeluk Kanaya, dia ibu mertua Kanaya.
Kanaya semakin tak mengerti dengan yang disampaikan
ibu mertuanya, lalu meneruskan langkah ke dalam kamarnya hingga ia dapati
sesosok jasad yang telah dibungkus kain kafan, wajahnya ia hafal betul, itu
adalah wajah Hilman, Pria yang menikahinya selama dua tahun ini.
“Yang tabah ya de, tadi sekitar pukul sembilan ibu
menemukan Hilman sudah terbujur kaku. Dokter memperkirakan beliau terkena
serangan jantung. Ibu menemukan ini didekap erat oleh Hilman!” Ujar seorang
Wanita, usianya tak terpaut jauh dengan Kanaya, dia adalah kakak ipar Hilman.
Lalu menyerahkan sebuah kotak sederhana bermotif hati.
Airmata Kanaya berderai sesaat kemudian dibuka
perlahan kotak itu. Isinya bukan perhiasan mahal, atau benda-benda mewah
lainnya, hanya sebuah buku berjudul "BAHAGIAKAN HATI SUAMI".
“Maafkan aku mas, maafkan aku..... Jangan pergi.....”
bulir-bulir air mata semakin deras mengaliri pipi Kanaya. Dan yang tersisa
hanya penyesalan.
aaaaaaaaaaaaaaaaarrrggggghhhhhhhhhhhhhhh
ReplyDeletebikin nangis...
emang sakit banget di hianati
saking banget...
maka aku benci dengan penghianatan
Hehehe, pasti ngga ada yang mau dkhianatin mas!!
Deleteending nya nge twist
ReplyDeletekita tak tahu kapan cinta itu ada..sampai ia tiada